Latar belakang
Kesehatan adalah hak dasar bagi warga Negara. Pemenuhan hak dasar warga Negara akan dapat dimaksimalkan jika para pemangku kepentingan memiliki semangat yang sama dan sinergis untuk mencapai maksud mulia tersebut. Semangat antar profesi akan semakin meningkat jika penghargaan dan peran dapat diberikan secara optimal pada setiap profesi dalam semangat kebersamaan dan kesetaraan dalam satu tim kesehatan. Tim yang saling komplementer, bukan subordinate dari anggota tim. Karena sesungguhnya setiap profesi memiliki keunikan dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh profesi lain.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia percaya bahwa masalah kesehatan Indonesia dewasa ini akan lebih mudah diselesaikan jika semangat kebersamaan antar profesi kesehatan dapat lebih diharmonisasikan. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih aktif menjadi katalisator untuk penyatuan semangat kolektif meningkatkan derajat kesehatan bangsa dari semua elemen profesi kesehatan melalui pemahaman yang mendalam tentang keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh setiap profesi kesehatan. Jika hal ini dapat terwujud, orienteasi profesi bukan hanya pada anggota profesinya dan arah kebijakan kesehatan akan lebih berpihak kepada kebutuhan masyarakat secara luas. Posting ini mencoba menjelaskan tentang profesi perawat dan berbagai peluang untuk semakin meningkatkan sinergi antara profesi-profesi kesehatan secara lebih fundamental.
Profesi Perawat
Keperawatan adalah Sebagai profesi yang mempunyai tanggung jawab moral dalam rangka memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Profesi ada karena ada pengakuan dari masyarakat, sehinga profesi mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban profesional sebagai pengabdian kepada masyarakat. Pengakuan masyarakat dapat terjadi akibat kemampuan seseorang pada suatu hal. kemampuan terbentuk akibat proses pendididikan formal, pelatihan dan pengalaman lapangan.
Pelaksanaan pelayanan dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada masyarakat adalah berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan serta kaidah dan nilai–nilai professional yang diyakini oleh profesi keperawatan. Penyelenggaraan praktik asuhan keperawatan yang unik didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan globalisasi dengan tetap melindungi kelestaria lingkungan alam. Saat ini, di Indonesia, perawat adalah satu profesi kesehatan dengan jumlah terbanyak (60%) dengan distribusi terluas.
Berikut ini akan dijabarkan beberapa cuplikan ketetapan dan peraturan yang mengatur tentang profesi perawat.
Undang-Undang Kesehatan No. 32 /1992 menyebutkan bahwa:
- Penyembuhan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 32, ayat 2).
- Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu (Pasal 32, ayat 4)
- Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan (Pasal 50, ayat 1)
Tugas pokok perawat menurut Kep MenPAN No 94 th 2001 tentang Jabatan fungsional perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan / kesehatan Individu, keluarga, kelompok, masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan, serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian di bidang keperawatan / kesehatan.
Kuputusan MenKES 1239/2001 tentang registrasi dan praktik perawat memberikan kewajiban dan kewenangan perawat:
- Melaksanakan praktik keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktik perorangan dan atau berkelompok (Pasal 8 ayat 1) Perawat dapat
- Melakukan praktik perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (Pasal 8, ayat 3)
- SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi lebih tinggi (Pasal 12, ayat 2)
Pendidikan keperawatan pada awalnya hanya merupakan pendidikan kejuruan hingga setingkat SMU. Namun seiring perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat, pendidikan keperawatan semakin tinggi, diawali dengan pendirian Program Diploma III Keperawatan pada tahun 1973. Tahun 1983, dalam lokakarya keperawatan nasional disepakati bahwa perawat adalah tenaga professional. Tahun 1985 berdirilah Program Studi Ilmu di FKUI yang mendidik perawat dalam jenjang pendidikan S1 (SKp). Selanjutnya pada tahun 1999 program magister manajemen keperawatan telah berdiri, diikuti dengan pendidikan spesialis pada tahun 2003. Pada tahun 2008 program pendidikan doctor keperawatan juga akan berdiri di FIKUI.
Pendidikan Profesi Tenaga Kesehatan
Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-calon tenga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas bersama untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai macam perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang keterbatasan profesi, meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim profesi dan pada akhirnya memunculkan perasaan penghargaan antar anggota tim kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur. Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi dokter yang baik jika tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur untuk menciptakan system pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik? Siapakah yang bisa dijadikan contoh peran kolaborasi professional dalam melayani pasien? Bila dokter memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa penyakit, bukankah farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat? Bukankah perawat yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan pengobatanya?
Ronde bersama di rumah sakit, diskusi kasus dan pengelolaan kasus bersama akan sangat bermanfaat bukan hanya untuk profesi atau mahasiswa kesehatan namun juga untuk pasien. Dengan kerjasama, duplikasi pemeriksaan dan wawancara serta duplikasi tindakan akan dapat dihindarkan. Melalui kerja tim, pemeriksaan dan tindakan serta monitoring data penting tidak akan terlewatkan. Dari kegiatan ini calon-calon profesioanal tahu bagaimana menjadikan pelayanan yang efektif dan efisien yang berfokus pada kebutuhan pasien. Kebutuhan pembelajaran dilakukan tetap dalam koridor beneficiency dan non maleficiency
Sinergi Antar Profesi
Organisasi profesi kesehatan memiliki peran penting untuk membangun sinergi, pemahaman atas peran dan perhatian atas masalah kesehatan masyarakat harus menjadi agenda utama dari para pengurus organisasi profesi. Organisasi profesi memiliki pengaruh besar kepada pemerintah dalam membuat peraturan-peraturan terkait kebijakan kesehatan dan keprofesian. Organisasi profesi juga sangat memiliki andil dalam mengarahkan pola tindak dan pola pikir dari anggota profesinya. Keharmonisan yang dibuat ditingkat pusat pusat organisasi profesi akan berdampak pada penciptaan harmoni kehidupan para professional.
Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi memiliki kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering dikenal sebagai area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi merasa memiliki kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek profesionalnya. Sehingga area abu menjadi daerah yang ‘diperebutkan’. Paradigma perebutan wilayah seperti ini harus dirubah menjadi paradigma baru yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan daerah abu-abu menjadi area of common interest. Area yang menjadi perhatian bersama para profesi karena besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang juga luar biasa sehingga harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani dapat menimbulkan potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar bagi masyarakat. Contoh masalah ini adalah persalinan normal, imunisasi dan vaksinasi serta pengobatan rutin masyarakat. Bila karena suatu hal profesi kesehatan lain tidak ada dan profesi kesehatan lainya tidak diperkenankan menangani masalah ini, maka dimanakah nurani para hamba-hamba kesehatan? Apakah persalinan bisa ditunda? Apakah hanya demam tinggi dan diare yang tidak spesifik harus dirujuk hingga 45 kilometer atau ditunda hingga dua hari? Bila kesepakatan antar profesi tenaga kesehatan dalam menangani area of common interest ini dapat dilakukan dengan baik, kehidupan bersama profesi-profesi kesehatan akan lebih mulia dan dimuliakan oleh masyarakat.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah saat ini belum memperhatikan hal-hal yang diaggap penting bagi semua tenaga kesehatan. Tenaga yang begitu penting dan berpotensi bahaya jika tidak diatur dengan baik. Focus pemerintah saat ini belum memberikan keseimbangan dalam hak dan kewajiban yang sebenarnya terus berkembang. Dengan anggaran daerah untuk kesehatan antara 2,5% – 4% dan maksimal 7% dari APBD (Budiyanto & Sopacua, 2002) peran pemerintah daerah dituntut lebih kreatif dalam menyinergikan berbagai pemangku kepentingan, seperti berbagai macam tenaga kesehatan.
Ketersediaan sarana kesehatan seperti puskesmas (7.550 unit), puskesmas pembantu (22.002 unit) dan pusesmas keliling (6.132 unit) adalah masih jauh dari angka ideal. Sementara, rasio penduduk dengan tenaga kesehatan pada tahun 2004 untuk tenaga Perawat 108.53, Bidan 28.40 dan dokter 17.47 per 100,000 penduduk, penambahan tenaga baru hingga tahun ini juga masih jauh dari angka ideal. Sementara, berdasarkan data sistem kesehatan nasional (SKN 2004), hanya sekitar 30 persen dari penduduk di Indonesia yang memanfaatkan fasilitas puskesmas dan pustu. Data diatas menunjukan bahwa perlu kearifan pemerintah untuk memberikan pendekatan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang ada dan kemampuan anggaran pemerintah. Menilik pengalaman negara seperti Inggris, Amerika dan Australia, mereka memberdayakan perawat untuk menangani permasalahan kesehatan umum atau rutine masyarakat di daerah dan pedesaan. Keputusan negara-negara tersebut pastilah didasari atas pertimbangan ekonomis, sosial dan filosofis yang terkadang tidak popular bagi tenaga kesehatan tertentu namun sangat populer dan didambakan oleh rakyat banyak. Sudah saatnya pemerintah melindungi kesehatan rakyat lebih baik.
Sementara hasil penelitian terhadap puskesmas terpencil di 10 provinsi yang dilakukan Depkes dan Universitas Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan, 69 persen responden menyatakan puskesmas tidak punya sistem penghargaan bagi perawat. Hal ini terlihat dari data bahwa 78,8 persen perawat melaksanakan tugas petugas kebersihan dan 63,3 persen melakukan tugas administrasi. Lebih dari 90 persen perawat di puskesmas terpencil melakukan tugas nonkeperawatan, seperti menetapkan diagnosis penyakit dan membuat resep obat. Hanya 50 persen perawat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai fungsinya (Kompas, 2008).
Melihat fenomena diatas, dibutuhkan akan dialog resmi yang bermutu dan berkesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah dengan seluruh pemangku kepentingan untuk memobilisasi sains, teknologi, dan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang ada di sektor kesehatan agar tercapai jalan tengah yang paling baik bagi masyarakat. Doktrin altruism profesi kesehatan diuji dalam bentuknya yang paling nyata dan mendasar, mendahulukan kepentingan publik dari kepentingan kelompok profesi atau kepentingan pribadi. Hasil-hasil dialog tersebut, diformatkan dalam peraturan dan kebijakan pusat atau daerah sebagai landasan tenaga kesehatan dapat mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan bersama. Pemerintah tidak seharusnya bertumpu pada satu pendekatan atau profesi saja, tetapi semua elemen masyarakat dan profesi yang terkait dengan bidang kesehatan harus dilibatkan secara efektif.
Kesimpulan
Kesehatan adalah hak asasi yang menjadi kewajiban setiap orang untuk memelihara dan meningkatkannya. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kinerja terbaik dari perawat dan tenaga kesehatan lain. Profesi ada karena ada pengakuan dari masyarakat, sehinga profesi mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan kewajiban profesional sebagai pengabdian kepada masyarakat. Peran perawat, dokter, bidan, farmasi adalah komplementer terhadap yang lain. Peran primer perawat adalah merawat respon klien akibat penyakitnya. Peran sekunder perawat dapat dilakukan sebagai dampak dari keterbatasan jumlah tenaga kesehatan lain dengan tujuan penyelamatkan kehidupan. Setiap daerah memiliki keunikan permasalah dengan solusi spesifik harus ditujukan untuk menurunkan jumlah penderita dan meningkatkan cakupan pelayanan. Pemberdayaan tenaga kesehatan yang ada harus berdasarkan aspek manfaat dan perlindungan hukum yang memadai. PPNI daerah berperan aktif mencari solusi atas masalah kesehatan daerahnya
Daftar Pustaka
Budijanto, D., Sopacua, E.(2002). Pola Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Manusia Dalam Otonomi Daerah Bidang Kesehatan (Tahap I: Assesment Keterampilan manajerial Sumber Daya Manusia Dalam Otonomi Daerah Bidang Kesehatan). Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan. Surabaya.
Kompas (2008). Kompetensi perawat perlu dilindungi. Diunduh dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/14/humaniora/3531067.htm. tanggal 14 Mei 2008
Departemen kesehatan RI (2004). Profile Indonesia 2004. http://bankdata.depkes.go.id/Profil/Indo04/
Rachmawati, Evy (2007) Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Masih Rendah. http://www2.kompas.com/ver1/Kesehatan/0711/01/184756.htm ( 14 Mei 2008).
Kuntjoro, Tjahjono (2005). Pengembangan manajemen kinerja perawat dan bidan sebgai strategi dalam peningkatan mutu klinis. JMPK Vol. 08/No.03/September/2005
Wright, J. &, Hill, P.(2003) Clinical Governance, Churchil and Livingstone.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman sekarang banyak sekali orang yang kekurangan gizi atau mengalami gizi buruk. Masalah ini sangat meresahkan sekali, karena asupan gizi itu penting sekali bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan giziyang baik, manusia dapat hidup sehat karena dengan mengkonsumsi gizi yang baik dapat mencegah penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh sehingga bisa terhindar dari berbagai penyakit. Kekurangan gizi ini bisa diakibatkan oleh panen yang gagal, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi itu sendiri, dan bisa juga diakibatkan oleh kebiasaan-kebiasaan atau pantangan-pantangan yang dianut atau dipercaya oleh suatu masyarakat, dimana tidak boleh memakan atau mengkonsumsi suatu makanan yang justru mengandung banyak gizi. Dengan adanya masalah ini memotivasi penulis untuk menyusun makalah yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA ANTROPOLOGI DENGAN GIZI”, untuk mengetahui secara lebih mendalam kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat dalam hal makanan. Hal ini dihara...